Minggu, 30 Juni 2013

Dua Jam Dengan sejuta Kesan Indah

Yang ku ingat pesan ustad Imam MansYur dalam pertemuan kami yang singkat bersama para kader adalah " Kutitipkan kalian dengan Allah, Aku mencintai Kalian Karena Allah, Kuatkan iltizam bil Jama'ah. ikhlas dalam Amal.. Kuat dalam ibadah. Allah tidak akan memberikan kemenangan itu ketika kita belum sanggup menerima amanah itu. 

Sahabat... tidak banyak mungkin kata -kata yang bisa kurangkai tuk menunjukan betapa kata-kata itu menghujam dalam sanubari dan menggugah kami yang berkumpul diruang sederhana itu.

Ruang sederhana itu membuatku merasakan Ukhuwah dan ikatan Iman yang membuat segala yang sederhana terkesan mendalam. pertemuan singkat dengan sejuta aktivitas tuk dakwah n umat...

insyallah bulan ramadhan yang penuh berkah ini. banyak amal n aksi sosial yang akan dilakukan..

sahabat....
ada yang sumbangi spanduk beberapa lembar. n insyaAllah bulan ramadhan akan dipasang. sembako murah yang insyallah akan dilakukan merupakan sumbanga dari kader.. kami berkumpul dan setiap kami yang merasa mampu menyumbang maka disanalah uang saku kader keluar...

Semua tuk amal... para kaderpun yakin.. setiap harta yang dikeluarkan tuk Allah SWT.. Allah akan menambahkannya kembali harta kita. so... nggak ada kader yang miskin hanya karena bersedekah dijalan Allah

Sahabat...
indah bukan jikalau hidup itu kita lakukan tuk banyak membantu orang-orang disekeliling kita. hidup itu umat. hidup tuk amal dan hidup tuk dakwah karena Allah....

semoga suatu hari nanti..,
sahabat sekalian juga merasakan apa yang kurasakan.Indahnya Jalan ini...



Palembang, 01 Juli 2013
Disepinya kantor siang ini

Maryam Annasyath

Jumat, 28 Juni 2013

Menjadi Muslimah Tangguh

apakah mereka yang slalu berbuat baik itu tak pernah "terluka"
ah kawan.. boleh jadi mereka lah yang paling banyak terluka di "jalan ini"
bahkan mungkin hati mereka sudah tak utuh lagi.. tercabik dan terkoyak di sana-sini..
lalu mengapa mereka terus menebar kebaikan..?
karena yang mereka cintai adalah Allah… bukan dirinya sendiri…

[Sarwo Widodo Arachnida]

“3 hari sesudah menikah… kami pun hidup terpisah…” ucapnya dengan suara datar. 
“Subhanallah…artinya sejak itu anti di Jakarta dan suami di Jawa Timur...? ” tanya Murobbiyah saya untuk meyakinkan. 
“Benar…” jawab akhwat tersebut dengan penuh keyakinan tanpa penyesalan. 

Itu sepenggal kisah yang dibagi murabbiyah saya saat duduk bersama di Masjid Islamic Center, pagi itu. Kisah tentang salah seorang akhwat pembimbing anak-anak calon penghafal Al Qur’an di Markaz Utrujah yang dirintis oleh DR. Sarmini Lc. MA. Seorang Akhwat tangguh yang berani mengambil pilihan memenangkan Allah dan dakwah di atas kesenangan pribadinya. Beliau lebih memilih mendampingi anak-anak menghafal setiap ayat demi ayat Al Qur’anul Karim dengan konsekuensi harus terpisah jarak dengan sang suami. Beliau lebih memilih bersabar untuk tidak berjumpa dengan suami yang dicinta demi mengantarkan bocah-bocah calon penghafal Al Qur’an itu menjadi generasi Robbani yang akan menjayakan dan memuliakan Islam dengan Al Qur’an. Sebuah pilihan yang tak mudah memang, tapi beliau telah membuat keputusan.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguhlah selayaknya kita mengambil teladan. Sebab dalam hidup akan ada begitu banyak tantangan yang mesti kita hadapi. Sebab dalam hidup tak sedikit “persimpangan jalan” yang bakal memaksa kita untuk membuat pilihan dan keputusan. Sebab dalam hidup terlampau sering manusia “dipaksa” menjadi lebih kuat agar tidak mengalah pasrah saat menghadapi masalah.

Dari pribadi–pribadi berjiwa tangguh kita belajar, belajar terus menebar kebaikan. Mereka tak hidup untuk dirinya sendiri tapi juga menghidupkan dan memberi manfaat pada sekitarnya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan jika di setiap langkah hidup yang mereka tempuh itu demi Allah dan dakwahNya, maka tak pernah akan ada yang sia- sia. Allah Maha Melihat dan malaikatpun tak akan lalai mencatat.. Mereka sepenuhnya mengimani firmanNya :

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. Ar-Rahman: 60)

Jika sebuah pilihan yang tak mudah telah diambil, benturan dan luka adalah sebuah keniscayaan. Bentuknya bisa jadi berupa perasaan tidak nyaman, godaan keikhlasan, cacian dan celaan, rasa tidak puas serta tuntutan berlebihan dari lingkungan hingga lintasan hati untuk menghentikan perjuangan. Mungkin tidak cukup sekali, dua kali, tiga kali, bahkan mungkin akan berkali-kali benturan dan luka yang akan terjadi. Tapi pribadi berjiwa tangguh tak terlalu risau dengan segala luka dan kepahitan itu. Mereka lebih memilih Allah dari pada sekedar rasa nyaman. Mereka memilih untuk menjadi kuat sebab mereka tahu Allah yang akan memampukan dan menguatkan mereka dengan pertolonganNya.

”…dan merupakan hak Kami, untuk Menolong orang-orang yang beriman…” (QS. Ar-Rum 47)

“Yang pasti modal awalnya azzam yang kuat… kemudian jiddiyah… bersungguh-sungguh…” kata murabbiyah saya sambil menepuk lembut lutut mutarabbi yang sedang bersila di sampingnya. “Akhwat tadi bisa… Bu Sarmini juga bisa… antipun pasti bisa…” sambungnya menguatkan. Tiba–tiba… serasa sebuah pilihan dihamparkan di hadapan saya. Pilihan menjadi tangguh atau pengeluh…? Menjadi gagah atau kalah…? Pilihan pertama lebih indah sepertinya… bagaimana menurut kalian..? [Kembang Pelangi]

sumber : http://www.bersamadakwah.com/2013/05/menjadi-akhwat-tangguh.html

Kamis, 27 Juni 2013

Maryam Annasyath: Mentari Ikhlas di Hatimu

Maryam Annasyath: Mentari Ikhlas di Hatimu

Mentari Ikhlas di Hatimu

Mentari Ikhlas di Hatimu

Behind The Screen

Behind The Screen

Gerimis Hujan malam ini

Bersama anak-anak asrama kuhabiskan waktu bersama.....
menkmati indahnya malam dengan senam jari yang mengikuti irama tulisanku...
mendengarkan curahan hati mereka....
mendengarkan suara ceria dan canda tawa mereka....

Malam ini gemuruh halilitan menyapa kami ditinggi gedung asrama....
suaranya begitu gaduh dengan cahaya yang mengalahkan terangkan cahaya lampu asrama...
hmhmhmmhmhmmm..............
akhirnya....
hujanpun turun....

sahabat.... 
kata sahabatku....
berdoalah dikala hujan turun...
karena disanalah keberkahan dari langitpun turun....


Palembang, 27 Juni 2013
Maryam Annasyath

Rabu, 26 Juni 2013

Puisi - puisi

Bila Tiba Waktu Berpisah

Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara
Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang
Masih kudapatkan dan kurasakan
Curahan  rahmat dan berbagai ni'mat
Yang kerap Kau berikan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Pantaskah kumemohon diri
Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu

Di siang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku
Di malah hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai
Masih kudapatkan dan kurasakan
Keramaian suasana dan ketenangan jiwa
Tapi bila tiba waktu berpisah
Akankah kupergi seorang diri
Tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani

Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku
Ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti
Masih bisa kumenghibur diri
Tubuhku kan bersih dan  esok kan lebih baik
Tanpa sebersit keraguan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Masih adakah kesempatan bagiku
Tuk membersihkan jiwa dan hatiku

Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan
Setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan
Masih kudengar dan kurasakan
Suara-suara yang menghibur
Tuk menghapus setiap kecewa dan sesal
Tapi bila tiba waktu berpisah
Adakah yang akan menghiburku
Akankah aku pergi tanpa kekecewaan dan penyesalan


Belajar dari Wajah

Menarik sekali jikalau kita terus menerus belajar tentang fenomena apapun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini. Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya : hari ini kita belajar tentang wajah. Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebut.

Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri : "Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?" karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang. Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah irtri, suami, anak, tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan lain sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.

Subhanallaah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.

Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram, subhanallaah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung qolbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, dan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Ia tidak punya daya, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.

Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka caru tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.

Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak menyejukkan.

Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah; raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.

Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya – menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.

Walhasil, ketika Nabi SAW berbincang dengan siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.

Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.

Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!

Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa detik, subhanallaah.***

sumber :
MQ File

Belajar dari Wajah

Menarik sekali jikalau kita terus menerus belajar tentang fenomena apapun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini. Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya : hari ini kita belajar tentang wajah. Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebut.

Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri : "Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?" karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang. Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah irtri, suami, anak, tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan lain sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.

Subhanallaah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.

Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram, subhanallaah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung qolbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, dan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Ia tidak punya daya, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.

Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka caru tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.

Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak menyejukkan.

Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah; raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.

Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya – menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.

Walhasil, ketika Nabi SAW berbincang dengan siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.

Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.

Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!

Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa detik, subhanallaah.***

sumber :
MQ File

Kisah Taubat Ka’ab bin Malik Radhiyallahu Anhu

Ibnu Syihab melanjutkan, Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwa Abdullah bin Ka’ab adalah salah satu putra Ka’ab yang menuntunnya ketika ia mengalami kebutaan di masa tua, ia mengatakan, “Aku pernah mendengar Ka’ab bin Malik Radhiyallahu Anhu  memberitahukan hadits yang diriwayatkan ketika ia tidak ikut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang tabuk.” Ka’ab bin Malik bercerita, “Aku tidak pernah sama sekali tertinggal untuk menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang yang beliau pimpin kecuali perang Tabuk. Namun aku juga pernah tidak ikut serta dalam perang Badar, akan tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin (dalam perang Badar) tujuan awalnya hanyalah ingin menyerang rombongan kafilah dagang beberapa orang dari Quraisy, sehingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu ya ngtelah  disepakati sebelumnya. Saat itu aku turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam perjanjian Aqabah ketika kami berjanji membela Islam. Bagiku, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut dalam malam perjanjian Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer bagi kebanyakan orang. Di antara kisah ketika aku tidak turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut,“Aku benar-benar tidak berdaya dan tidak ada orang yang lebih banyak mempunyai keluasan daripada aku ketika tidak turut dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah sama sekali menyiapkan dua ekor hewan tunggangan di pelbagai peperangan, namun pada perang Tabuk tersebut aku menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke lokasi perang Tabuk pada cuaca yang sangat panas, beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh dalam jumlah besar. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersama beliau. Oleh karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang.”Ka’ab melanjutkan, “Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena tidak ingin turut berperang. Dia mendunga bahwa tindakannya yang tidak ikut serta tersebut tidak akan diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Azza wa Jalla mengenai dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, sehingga aku memalingkan perhatian kepada hasil panen. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin yang menyertai beliau sudah bersiap-siap, dan aku pun segera pergi mencari perbekalan bersama mereka, namun aku pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Aku berkata dalam hati, “Aku sebenarnya bisa memperoleh perbekalan jika aku mau, aku selalu dalam teka-teki antara ya dan tidak sedangkan yang lainnya semakin siap.”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama pasukan kaum muslimin, sementara aku belum mempersiapkan perbekalan sama sekali, lalu aku pergi kemudian pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Aku senantiasa dalam kebimbangan seperti itu antara turut berperang atau tidak, sehingga pasukan kaum muslimin sudah bergegas dan perang pun telah berkecamuk. Lalu aku ingin menyusul mereka ke medan perang –duhai kiranya aku benar-benar melakukannya- dan akhirnya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta dalam medan tempur. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke perang Tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diriku. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat aku temui selain orang-orang dicap bergelimang dalam kemunafikan atau aku termasuk orang yang lemah yang diberi udzur oleh Allah Azza wa Jalla.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingat diriku hingga beliau sampai di Tabuk. Ketika beliau sedang duduk di tengah para shahabat di Tabuk, beliau bertanya, “Mengapa Ka’ab bin Malik tidak turut berperang?” Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, “Wahai Rasulullah, Ka’ab bin Malik disibukkan oleh pakaiannya dan lebih mementingkan urusan pribadinya dari pada perjuangan ini.” Mendengar ucapan shahabat itu Mu’adz bin Jabal berkata, “Ucapanmu ini sungguh jelek wahai shahabat, demi Allah, wahai Rasulullah, kami tahu bahwa Ka’ab bin Malik adalah orang yang baik.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diam. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiam seperti itu tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih dan hitam yang bergerak-gerak, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kamu pasti Abu Khaitsamah.” Ternyata dia memang Abu Khaitsamah Al-Anshari, seorang shahabat yang pernah menyedekahkan satu sha’ kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik.Ka’ab bin Malik melanjutkan ceritanya, “Ketika aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersiap-siap kembali dari Tabuk, aku diliputi kesedihan, lalu aku mulai menggagas alasan untuk berdusta, aku berkata dalam hatiku, “Alasan apa yang besok bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?” Untuk menghadapi itu aku berniat untuk meminta bantuan kepada keluargaku yang bisa memberi jalan keluar. Ketika ada seseorang memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah hampir tiba di kota Madinah, maka semua keinginan untuk berdusta telah hilang dari benakku. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah dapat berbohong sedikitpun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu aku harus berkata jujur kepada beliau.Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Madinah pada pagi hari. Seperti biasa, beliau langsung menuju masjid sebagaimana kebiasaan beliau setiap kali tiba dari bepergian ke suatu daerah. Lalu beliau melaksanakan shalat sunnah dua raka’at, setelah itu beliau duduk bercengkerama bersama para shahabat. Beberapa saat kemudian, beliau didatangi oleh orang-orang yang tidak turut berperang. Mereka segera menyampaikan alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak ikut bertempur itu berjumlah 80 orang lebih. Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima alasan mereka yang tidak ikut berperang, membai’at mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah Ta’ala. Tak setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah, kemudian beliau mengatakan, “Kemarilah!” Lalu aku berjalan mendekat, sehingga aku duduk tepat di hadapan beliau. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam  bertanya, “Mengapa kamu tidak turut berperang? Tidakkah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu demi Islam?” Aku menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang bersamamu.” Mendengar pengakuan tulsu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Akhirnya aku pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui kamu berbuat dosa sebelum ini, Kamu benar-benar tidak mampu engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu, sungguh istighfar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untukmu yang akan menghapus dosamu.”Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah, mereka tidak berhenti mencercaku sampai-sampai aku ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku dustakan diriku.” Selanjutnya aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti aku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang jawaban beliau kepadamu.” Aku bertanya, “Siapa dua orang itu?” Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi. ” Mereka menyebutkan dua orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar, dan mereka bisa menjadi teladan. Aku pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepadaku.Tak dinayana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Kaum muslimin manjauhi kami dan berubah sikap kepada kami bertiga sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya bumi ini bukan bumi yang kami kenal sebelumnya, itu berlangsung selama 50 malam. Dua orang temanku yang tidak turut dalam perang Tabuk itu duduk bersedih di rumah mereka sambil terus menangis, sedangkan aku masih muda tetap tegar. Aku tetap beraktifitas seperti sedia kala, aku tetap berani keluar dari rumah, menghadiri shalat berjama’ah dan berjalan-jalan di pasar meskipun tak seorang pun yang mau berbicara denganku. Hingga suatu ketika aku menghampiri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku ucapkan salam kepada beliau ketika beliau berada di tempat duduknya seusai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?” Kemudian aku shalat di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika aku sudah bersiap hendak shalat, beliau memandangku dan ketika aku menoleh kepada beliau, beliau mengalihkan pandangannya dariku.Setelah terisolir dari pergaulan kaum muslimin, aku berjalan-jalan sehingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, dia adalah sepupuku dan dia merupakan orang yang paling aku senangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Hai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Ternyata Abu Qatadah diam saja. Lalu aku ulangi lagi dengan bersumpah seperti itu, tetapi dia tetap diam. Kemudian aku ulangi sekali lagi, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu.” Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mataku dan aku pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.Pada hari lain, ketika aku berjalan di pasar Madinah, ada seorang dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang sudi menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’ Maka orang-orang pun menunjukkannya kepadaku. Lalu dia datang kepadaku sambil menyerahkan sepucuk surat untukku dari raja Ghassan. Karena saya bisa menulis dan membaca, maka aku bisa memahami surat itu, ternyata isinya sebagai berikut,“Kami mendengar bahwa temanmu (yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) mengucilkanmu dari pergaulan umum, sedangkan Allah tidak menyia-nyiakanmu, karena itu bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.”Selesai membaca surat itu aku pun berkata, “Surat ini juga merupakan bencana bagiku.” Lalu aku memasukkannya ke pembakaran dan membakarnya hingga musnah.” Setelah berlalu 40 hari dari 50 hari masa pengucilanku dan wahyu pun tidak turun, tiba-tiba utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangiku untuk menyampaikan pesan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kamu menjauhi istrimu.” Aku bertanya, “Aku harus menceraikannya atau bagaimana?” Dia menjawab, “Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengutus orang kepada dua orang temanku yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk dengan pesan seperti yang disampaikan kepadaku. Aku katakan kepada isteriku, “Pulanglah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan dalam masalah ini.”Setelah itu, istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah sudah tua, lemah dan tidak memiliki pembantu, apa engkau juga tidak suka kalau aku yang merawatnya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Tidak, dengan syarat jangan sampai dia mendekatimu.” Perempuan itu berkata lagi, “Demi Allah, dia sudah tidak berhasrat sama sekali, dan demi Allah dia tidak putus menangis semenjak dia mendapatkan ujian tersebut sampai hari ini.”Ka’ab bin Malik berkata, “Salah seorang keluargaku memberi saran, “Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam persoalan istrimu; sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.” Aku berkata, “Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perihal istriku, aku tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika aku minta izin kepada beliau tentang istriku; karena aku masih muda.” Hal itu berlangsung sepuluh malam, sehingga genaplah 50 malam bagi kami, terhitung sejak kaum muslimin dilarang berbicara dengan kami. Kemudian aku melakukan shalat subuh pada pagi hari setelah melewati malam yang ke-50 di bagian belakang rumahku. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan seperti yang Allah sebutkan tentang kami, yaitu diriku diliputi kesedihan yang sangat serta bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan suara keras yang menembus cakrawala, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Lalu aku sujud dan aku tahu bahwa aku telah bebas dari persoalan ini.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumumkan kepada kaum muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Orang-orang pun segera memberitahu kami dan mendatangi dua orang temanku untuk memberitahu mereka berdua. Orang-orang dari Bani Aslam datang kepadaku dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung, dan suara mereka lebih cepat daripada suara kuda mereka. Ketika orang yang telah aku dengar suaranya memberi kabar gembira datang, maka aku melepaskan pakaian luarku, lalu aku pakaikan kepadanya sebagai balasan kabar gembiranya kepadaku. Demi Allah, pada saat itu yang aku milikinya hanyalah dua pakaian tersebut. Kemudian aku meminjam dua pakaian, lalu aku pakai. Setelah itu aku menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara orang-orang berduyun-duyun menemuiku untuk mengucapkan selamat atas terkabulnya taubatku. Lalu aku masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di tengah orang banyak. Thalhah bin Ubaidullah berdiri dan berjalan cepat mendekatiku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada orang-orang muhajirin yang berdiri selain Thalhah.Periwayat hadits mengatakan “Ka’ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut.”Ka’ab berkata, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ketika itu wajah beliau berseri-seri, beliau mengatakan, “Bergembiralah, karena kamu mendapati sebaik-baik hari yang telah kamu lalui semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?” Beliau menjawab, “Dari Allah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau merasa senang, maka wajah beliau bersinar bagai bulan purnama, kami pun sudah memahami hal itu.Ketika duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku berkata, “Wahai Rasulullah, di antara bentuk taubatku adalah aku serahkan hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Sisakan sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu.” Lalu aku katakan, “Aku sisakan hartaku yang menjadi bagianku pada perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku hanyalah karena kejujuranku, dan di antara bentuk taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur pada sisa umurku.”Ka’ab mengatkaan, “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa seorang muslim diuji oleh Allah karena kejujuran bicaranya sejak aku tuturkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, yang lebih baik daripada apa yang telah diujikan oleh Allah Azza wa Jalla kepadaku. Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku.Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 117-119).Ka’ab mengatakan, “Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku anggap lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan kejelekan orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan ayat, “Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 95-96).Ka’ab berkata kepada kedua orang temannya, “Kita bertiga adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang telah diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka bersumpah, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membai’at mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangguhkan persoalan kita sampai ada keputusan dari Allah Azza wa Jalla tentang persoalan kita; maka dalam hal tersebut Allah Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas…” (At-Taubah: 118). Apa yang difirmankan Allah dalam ayat itu bukanlah tentang sikap kita yang tidak ikut serta dalam perang, melainkan tentang tertinggalnya kita untuk menyampaikan alasan kita dari kelompok orang-orang yang bersumpah dan memberikan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau pun menerima alasan mereka.” HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i.  Redaktur: Abu Hafsah
 Sumber: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan An-Nasa’i

Minggu, 23 Juni 2013

KISAH ASIAH BINTI MAHAZIM ( ISTERI FIR’AUN )


Tersebutlah alkisah di negeri Mesir terdapat kerajaan yang diketuai oleh raja yang terakhir bernama Fir’aun yang terkenal dengan keganasan dan tidak berperikemanusian. Setelah kematian isterinya beliau hidup sendirian tanpa teman hidup. Pada waktu itu tersebutlah satu kisah di mana ada seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran yang baik-baik dan solehah yang bernama
 Siti Aisah yang senantiasa menjadi sebutan di kalangan pemuda-pemuda Mesir karena keperibadian dan kejelitaannya.

Kisah kejelitaan
 Siti Aisah telah sampai ke telinga Fir’aun dan suatu hari beliau punya keinginan untuk memperisterikan Asiah sebagai permaisurinya. Maka diutuskan seorang Menteri bernama Haman untuk merisik ( melamar ). Ibu bapak Asiah telah bertanya kepada Asiah tentang lamaran Fir’aun tetapi Aisah menolak lamaran tersebut dan berkata kepada kedua ibu bapaknya bahwa Fir’aun adalah seorang raja yang ingkar kepada Allah SWT dan tidak berperikemanusiaan. 

Tidak lama kemudian Haman, utusan Fir’aun datang kembali untuk menanyakan tentang lamaran tersebut dan alangkah marahnya beliau setelah mendapat kabar bahwa lamaran Fir’aun telah ditolak. Ibu bapak Asiah dicaci dan dihina. Haman kemudian telah pulang dan memberitahu kepada Fir’aun akan berita buruk tersebut dan Fir’aun menjadi marah dan memerintahkan supaya kedua ibu bapak Asiah ditangkap. Mereka telah disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara. Setelah itu Asiah ditangkap dengan menggunakan kekerasan dan kemudian dibawa ke istana Fir’aun dan bertemu dengannya. Di hadapan Fir’aun, Asiah kemudian dipertemukan dengan kedua ibu bapaknya di dalam penjara. Asiah amat sedih melihat keadaan kedua orang tuanya yang disiksa oleh Fir’aun.
 

Kemudian Fir’aun berkata :
 
“Hai Asiah, jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau akan sayang terhadap kedua orang tuamu, engkau boleh pilih satu antara dua. Kalau kau menerima lamaranku berarti engkau akan hidup senang dan akan aku bebaskan kedua orang tuamu. Dan sebaliknya jika engkau menolak lamaranku, maka aku akan perintahkan mereka untuk membakar hidup-hidup kedua orang tuamu di hadapanmu.”

Oleh karena ancaman itu, maka Siti Asiah terpaksa menerima pinangan Fir’aun akan tetapi beliau telah meletakkan beberapa syarat :
 

1. Bahwa Fir’aun harus membebaskan kedua ibu bapaknya.
2. Harus membuatkan rumah yang indah lengkap dengan perkakas
3. Bahwa orang tuanya harus dijamin kesehatan beserta makan dan minumnya.
4. Bahwa Asiah bersedia menjadi isteri Fir’aun, hadir dalam acara-acara tertentu tetapi tidak bersedia tidur bersama Fir’aun.
 

Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, beliau rela mati dibunuh bersama kedua ibu bapaknya.
 

Akhirnya Fir’aun setuju menerima syarat-syarat tersebut dan memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan Asiah dibuka. Akhirnya Asiah hidup mewah dan tinggal bersama-sama Fir’aun di dalam istana yang indah. Akan tetapi ia tidak membawa pengaruh terhadap kehidupan pribadi Asiah.
 Aisah tidak pernah ingkar terhadap perintah agama dan beliau tetap taat mengerjakan ibadah kepada Allah SWT. Pada malam hari beliau selalu mengerjakan solat dan beribadah kepada Allah SWT. Beliau senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir meskipun suaminya Fir’aun. Untuk menyelamatkan Asiah dan menjaga kehormatannya, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyamar dirinya sama seperti rupa Asiah untuk tidur bersama Fir’aun. 

Fir’aun sebenarnya mempunyai seorang pegawai yang amat dipercayai dan rapat dengannya yang bernama Hazaqil. Hazaqil telah berhasil merahasiakan identitasnya yang sebenarnya. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyithah yang bekerja sebagai juru hias istana yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT.
 

Pada suatu hari maka terjadilah perdebatan yang hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil karena Fir’aun telah menjatuhkan hukuman mati terhadap ahli sihir yang beriman kepada Nabi Musa AS. Hazaqil menentang keras terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada mereka semua karena mereka semuanya beriman kepada Allah SWT. Mendengar akan kata-kata Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Akhirnya Fir’aun tahu yang sebenarnya bahwa Hazaqil telah ingkar kepadanya sehingga Fir’aun memberi hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah dan tidak merasa gentar demi untuk membela kebenaran. Hazaqil telah meninggal dunia dengan kedua-dua tangannya diikat pada pohon kurma dengan tembusan beberapa anak panah. Isterinya yang bernama Masyitah amat sedih sekali di atas kematian suaminya yang tersayang itu. Beliau senantiasa dirundung kesedihan dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada 2 orang anaknya yang masih kecil. Pada suatu hari Masyitah telah mengadu nasib kepada Asiah mengenai nasib yang menimpa dirinya. Di akhir perbicaraan mereka, Asiah juga telah menceritakan tentang keadaan dirinya yang sebenar. Hasil dari perbicaraan itu, barulah kedua-duanya mengetahui perkara sebenar bahwa mereka adalah wanita yang amat beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa AS.
 

ASIAH binti Mazahim merupakan seorang wanita Mesir yang baik budi pekertinya dan bijaksana dalam pemikirannya. Oleh karena dia memiliki kecantikan yang tiada ada bandingan, dia dipaksa kawin dengan Fir’aun, raja Mesir yang berkuasa pada waktu itu.
 

Pada suatu hari ketika
 Aisah sedang duduk bersantai bersama dayang-dayang istana, dia melihat sebuah kotak kayu terapung-apung di tepian sungai yang mengalir melintasi istana Fir’aun. 


"Ambil kotak itu dan bawa kepada saya," perintah Asiah kepada salah seorang dayang yang berdiri di sampingnya.

Dayang itu berlari ke arah kotak yang sedang terapung-apung di tepian sungai. Dia mengangkat kotak kayu itu dari permukaan sungai lalu dibawakan kepada Asiah. Dia berdebar-debar untuk mengetahui isi kandungan kotak kayu itu.
 


"Lucunya bayi lelaki dalam kotak kayu ini!," teriak Asiah ketika penutup kotak kayu itu terbuka.

Pada waktu itu, Fir’aun memerintahkan kepada masyarakatnya untuk membunuh semua bayi lelaki Bani Israel karena dia bermimpi bayi tersebut akan menghancurkan dan membinasakan kerajaan pemerintahan Fir’aun.
 

Ketika berita penemuan bayi lelaki itu sampai ke telinga Fir’aun, maka dia bergegas ke tempat Asiah dan bayi lelaki itu.
 

"Pengawal! Bunuh bayi ini sekarang..." Perintah Fir’aun kepada pengawal yang mengiringinya ke kamar Asiah.
"Bukankah kita tidak mempunyai anak lelaki. Anak lelaki ini dapat kita jadikan anak angkat. Saya mohon agar bayi ini tidak dibunuh karena saya sudah sayang kepadanya. 

“Dia akan memberikan manfaat kepada kita berdua apabila dewasa nanti," Asiah menghalangi niat jahat Fir’aun dengan kata-kata bijaksananya.
 

"Baiklah. Saya tidak akan bunuh bayi ini karena perasaan cinta saya pada kamu," Fir’aun setuju dengan permintaan isterinya, lalu keluar dari kamar itu.

Asiah memberi nama Musa kepada bayi tersebut dan mengasuhnya dewasa di istana Fir’aun.
 
Ketika nabi Musa mula berdakwah menyebarkan ajaran Allah, maka Asiah menjadi salah seorang pengikutnya tanpa sepengetahuan Fir’aun dan orang sekelilingnya.
 

Pada suatu hari, Asiah duduk menyisir rambut anak perempuannya di kamar tidur. Tiba-tiba sikat yang digunakan Asiah untuk menyisir rambut anaknya jatuh dengan kehendak Allah.
 
Asiah yang terkejut dengan kejadian itu terus berkata, "Binasalah Fir’aun yang dilaknat Allah dengan izinnya."
 
"Dengan nama Allah," ucap Asiah tanpa menyadari anaknya memperhatikan perbuatannya dengan perasaan heran.
 
"Ibu, adakah tuhan lain selain ayah? Adakah ibu sudah menganut agama yang dibawa oleh Musa? Mengapa ibu sanggup mengikut agama Musa? Bukankah ibu menyelamatkan Musa sewaktu kecil apabila dia akan dibunuh oleh ayah," anaknya bertanya pelbagai soal kepada Asiah dan menanti jawabannya.
Ibu, adakah tuhan lain selain ayah? Adakah ibu sudah menganut agama yang dibawa oleh Musa? Mengapa ibu sanggup mengikut agama Musa? Bukankah ibu menyelamatkan Musa sewaktu kecil apabila dia akan dibunuh oleh ayah," anaknya bertanya pelbagai soal kepada Asiah dan menanti jawabannya. 

Manusia biasa
"Fir’aun, ayah kamu itu adalah manusia biasa seperti kita semua dan bukan Tuhan. Tuhan sebenarnya adalah Allah, Tuhan semesta alam!" jawab Asiah tanpa perasaan takut dan gentar. 

"Biar saya adukan perkara ini kepada ayah!," balas anaknya, lalu dia lari keluar dari bilik itu dan pergi mengadu kepada Fir’aun.


Fir’aun yang mendengar aduan anaknya merasa sangat marah dengan Asiah. Dia tidak menyangka
 Asiah sudah mengikuti ajaran Allah walaupun dia sudah melarang siapa saja di Negara Mesir untuk tidak mengikuti ajaran Allah. 

Orang yang mengingkari larangan itu akan dijatuhkan hukuman berat jika diketahui oleh Fir’aun. Kini isterinya sudah mengikut ajaran Allah, maka dia harus berbuat sesuatu supaya isterinya keluar dari agama Allah.
 


"Dengarlah nasihat saya, wahai Asiah yang amat saya cintai dan sayangi. 

"Keluarlah dari agama yang dibawa oleh Musa. Saya akan berikan segala harta dan istana di Mesir sebagai hadiah," Fir’aun coba dengan lembut membujuk Asiah dengan kata-kata manisnya.
 

"Saya tidak akan sekali-kali keluar dari agama ajaran Musa yang benar dan suci. Nanti saya akan dimurkai oleh Allah, tuhan yang mencipta saya.
 

"Jika saya tetap dalam agama ini, saya percaya Allah akan memberikan syurga yang lebih baik dari harta dan istana kamu," tegas Asiah yang tenang dan berani menatap mata Fir’aun yang menyala dengan api kemarahan.

Usaha Fir’aun membujuk isterinya menemui jalan buntu. Dia tidak mau menghukum Asiah karena perasaan kasih sayang dan cinta yang mendalam terhadap isterinya. Dia coba memikirkan cara lain bagi melembutkan hati Asiah supaya dia tidak beriman dengan ajaran nabi Musa.
 

Namun, semua ikhtiarnya gagal dan tidak menemui jalan penyelesaian. Fir’aun termenung. Wajahnya terbayang seribu kekecewaan karena gagal membujuk
 Asiah. Akhirnya, dia mengambil keputusan menggunakan kekerasan kepada Asiah supaya dia berpaling dari agama Musa. 


"Pengawal, tangkap Asiah dan bawa dia kehadapan saya sekarang!," perintah Fir’aun dengan nada keras. 

"Oleh karena kamu masih bersekukuh mau mengikuti ajaran agama Musa, maka saya jatuhkan hukuman berat ke atas kamu," kata Fir’aun lagi.
 

"Pengawal, bawa perempuan ini ke tanah tinggi dan ikatkan pada empat batang kayu. Pakukan empat kayu itu ke bumi dengan menelentangkan badan perempuan ini menghadap langit.
 

"Biarkan terik matahari yang panas, dan dingin malam menyiksanya," Fir’aun meminta para pengawalnya menjalankan hukuman ke atas Asiah dengan segera.
 

"Allah! Allah! Allah!," mulut Asiah tidak henti-henti menyebut kalimat Allah sepanjang hukuman itu dijalankan.
 

"Ya Allah! Saya mohon supaya dilindungi dari bencana Fir’aun dan dianugerahkan sebuah rumah di syurga," doa Asiah yang tersiksa dengan sinar matahari yang sangat panas dan terik.


Akhirnya
 Asiah dapat melihat rumahnya di syurga dengan kehendak Allah yang membuka hijabnya. Hatinya sangat gembira sehingga lupa pada penderitaan dan kesakitan yang sedang dialaminya. 

Setelah beberapa lama waktu penyiksaan itu berlalu, Asiah akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan kalimat Allah di mulutnya.
 

Begitulah kisah wanita yang berhati baja. Dia tetap dalam keimanannya kepada Allah walaupun disiksa sehingga mati tanpa belas kasihan.
 

Semoga menjadi iktibar . InsyaAllah.