A. Pendahuluan
Walisongo adalah
wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga
dalam bahasa jawa. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
Serta Sunan Gunung Jati. Mereka
tidak hidup pada saat yang bersamaan. Namun,
satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah
juga dalam ikatan pernikahan atau dalam hubungan murid.
Walisongo
atau walisanga dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Tanah Jawa pada abad
ke-17. Mereka tinggal di pantai Utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan
abad 16, di tiga wilayah penting yakni Surabaya – Gresik – Lamongan di Jawa
Timur, Demak – Kudus – Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada massanya.
Mereke juga mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru di tanah Jawa.
Era
walisongo adalah era berahirna dominasi Hindhu – Budha dalam budaya nusantara
untuk digantikan dalam kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokih lain yang
juga berperan. Namun peran mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat para walisongo ini lebih banyak disebut
dibandingyang lain.
Pada kesempatan
ini, pemakalah akan memaparkan mengenai bagaimana cara para wali dalam
menyebarkan Agama Islam, selain itu juga akan dipaparkan mengenai peradaban –
peradaban apa saja yang telah dibangun para wali di tanah Jawa pada massanya.
B. Pembahasan
Walisongo sebagai
tokoh penyebar ajaran Islam di Indonesia, selalu dikaitkan dengan hal – hal
yang kurang rasional, bahkan lebih dekat dengan ajaran yang tidak Islami. Barangkali kisah yang banyak beredar di
masyarakat bersumber dari penulis yang menetang Islam, karena kecenderungan
para ulama yang kurang memperhatikan penulisan sejarah. Kelemahan ini yang
menjadi penyebab utama kenapa kisah sejarah mereka banyak di tulis oleh penulis
yang bukan beragama Islam.
Para
wali, meskipun masing – masing tidak hidup sezaman,tetapi dalam pemilihan
wilayah dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya
mempertimbangkan pula faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Mereka memilih pulau Jawa karena mereka melihat Jawa sebagai pusat kegiatan
ekonomi, politik dan kebudayaan di Nusantara pada saat itu. Sebagai pusat
perniagaan, tentunya Jawa banyak dikunjungi oleh pedagang – pedagang dari luar
Jawa, sehingga diharapkan para pedagang inilah yang nantinya akan menyebarkan
ajaran Islam di daerah asal mereka.
Kalau
kita perhatikan darimkesembilan wali dalam pembagian wilayah dakwahnya,
ternyata mereka membagi wilayah jawa dengan raiso 5:3:1. Jawa Timur mendapat
perhatian besar dari para wali. Di sini ditempatkan 5 wali, dengan pembagian teritorial
dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim sebagai wali perintis mengambil
wilayah Gresik. Setelah beliau wafat, wilayah ini di kuasai oleh Sunan Giri.
Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan bonang di Tuban, sedangkan Sunan Drajat di Sedayu
(http://www. Jawaplace.Orang/walisongo2.htm).
Kalau kita
perhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut,
semuanya mengambil tempat “kota bandar” atau
pelabuhan. Pengambilan posisi
ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang
berprofesi sebagai pedagang. Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah
karena kekuatan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di
Kediri dan Majapahit di Mojokerto.
Di
Jawa Timur para wali terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya
tidak seperti yang di gambarkan oleh “dongeng” yang memberitakan kisah para
wali sebagai “bhiksu”, atau lebih banyak beribadah semacam bertapa di gunung
dari pada aktif di bidang perekonomian. Ternyata dinamika kehidupannya lebih
rasional seperti halnya yang di contohkan oleh Rasulullah yang juga pernah
berdagang. Di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria.
Di
Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindhu dan Budha
sudah tidak berperan lagi. Hanya para wali melihat realita masyarakat yang
masih di pengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindhu dan Budha. Dan
mereka melihat bahwa wayang sebagai media komunikasi yang memiliki pengaruh
besar terhadap pola pikir masyarakat (Badri Yatim: 1997). Oleh karena itu,
wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu di Islamkan.
Penempatan para wali di Demak, Kudus dan Muria ternyata tidak hanya ditujukan
untuk penyebaran Islam di Jawa Tengah semata, tetapi untuk kawasan Indonesia Tengah
seluruhnya. Saat itu, pusat kekuatan politik dan ekonomi memang sedang beralih
ke Jawa Tengah. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga
tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.
Di
Jawa Barat, prses Islamisasi hanya di tangani oleh seorang wali, Syaarif
Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada
saat itu, penyebaran Agama Islam di wilayah Indonesia Barat, terutama di Sumatera
dapat dikatakan telah merata bila di bandingkan dengan kondisi Indonesia Timur.
Seperti sekarang hal yang semacam itu masih dapat kita saksikan kenyataannya.
Adapun pemeliharaan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung
Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan rempah –
rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur, ataupun ke Indonesia
Barat. Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan
pertimbangan social, politik, dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai
geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang memnentukan keberhasilan penyebaran
Islam selanjutnya.
Masing – masing tokoh tersebut mempunyai
peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana
Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi kerajaan Hindhu
Majapahit, Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “ paus” dari Timur, hingga Sunan Kalijaga yang menciptakan
karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni
nuansa Hindhu dan Budha. Mereka
menganalkan berbagai bentuk peradaba baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam,
niaga, kebudayaan, kemasyarakatan hingga (http://www.mesias.8k.com/asvi2.htm).
Adapun wali – wali
yang ada di Tanah Jawa itu ada sembilan, diantaranya:
1. Maulana malik ibrahim
Maulana Ibrahim
umumnya di anggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islamdi Jawa. Ia
mengajarkan cara – cara bercccok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati para
masyarakat yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.ia membangun
pondokan tempat belajar Agama di Leran Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat, makamnya terdapat di desa Gapura Waten Gresik Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel umumnya
di anggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. pesantrennya bertempat di
Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan
salah satu pusat penyebaran Agama Islam tertua di Jawa. Ia membangun mengembangkan pondok pesantren, mula
– mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan abad ke 15, pesantren
tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
nusantara bahkan mancanegara.
3. Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishak.
Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, yang merupakan murid
dari Sunan Ampel dan seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan
mandiri di Kedaton, Gresik, yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam
di Jawa dan di Indonesia Timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan Agama
Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
4. Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra dari Sunan
Ampel. Ia merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia Banyak berdakwah
melalui kesenian menarik penduduk Jawa agar memeluk Agama Islam. Ia dikatakan
sebagai pengubah Suluk Wijil dan Tembang Tombo Ati, yang masih sering
dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan
rebab dan bonang, yang sering di hubungkan dengan namanya.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kaljaga adalah putra Adipati Tuban, ia
adalah murid Sunan Bonang. Ia menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap, mengikuti sambil memepengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah di pahami maka dengan sendirinya kebiasaan lama kan hilang.
Oleh sebab itu, ajaran Sunan Kalijaga terksan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang,gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
6. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari
Husaen bin Ali. Sebagai seorang wali Sunan Kudus memiliki peran yang besar
dalam pemerintahan kesultana Demak. Yaitu sebagai panglima perang dan hakim
peradilan Negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi
Jawa. Salah satu peninggalannya yang trkenal adalah Masjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campurann Hindhu dan Islam. Sunan
Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
7. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati
adalah satu – satunya walisongo yang memimpin pemerintahan. Ia memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
raja pajajaran untuk menyebarkan Islam dari Pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Pariangan. Namun ia juga membangun infrastruktur berupa jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
8. Sunan Drjat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengalaman dari Agama Islam. Pesantren Sunan
Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di desa Drajat,
kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat pangkur di sebutkan sebagai
penciptaanya. Gamelan Singo mengkok peniggalannya terdapat di museum daerah Sunan
Drajat, Lamongan.
9. Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra dari Sunan
Kalijaga. Ia lebih suka tinggal di daerah yang terpencil untuk menyebarkan
Agama Islam, dan bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan
– keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Sunan Muria berdakwah dari
Jepara, Tayu, Juana, hingga Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni
adalah lagu sinom dan kinanti.
C. Simpulan
Dari pembahasan
makalah ini dapat disimpulkan bahwa, walisongo merupakan sembilan orang yang di
kenal sebagai penyebar Agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke- 17. Mereka
adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Serta Sunan Gunung Jati. Para walisongo juga adalah intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada massanya. Mereka mempunyai cara sendiri – sendiri
dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa untukmengubah budaya Hindhu – Budha dan
di gantikan dengan kebudayaan Islam. Pengaruh mereka sangat terasakan dalam
beragam bentuk manifstasi peradaban baru di masyarakat Jawa.
Berbagai
macam cara yang mereka lakukan untuk menyebarkan Agama Islam dan membangun
peradaban di Tanah Jawa. Salah satu cara yang mereka lakukan yaitu dengan
berdakwah, kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian,
kemasyarakatan hingga kepemerintahan. Walaupun banyak hambatan – hambatan,
namun dengan usaha para wali dan juga dengan pertolongan Allah SWT hal itu
mampu mereka lewati.
Daftar Pustaka.
Yatim Badri. 1997. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar