Rabu, 26 Juni 2013

Kisah Taubat Ka’ab bin Malik Radhiyallahu Anhu

Ibnu Syihab melanjutkan, Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwa Abdullah bin Ka’ab adalah salah satu putra Ka’ab yang menuntunnya ketika ia mengalami kebutaan di masa tua, ia mengatakan, “Aku pernah mendengar Ka’ab bin Malik Radhiyallahu Anhu  memberitahukan hadits yang diriwayatkan ketika ia tidak ikut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang tabuk.” Ka’ab bin Malik bercerita, “Aku tidak pernah sama sekali tertinggal untuk menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang yang beliau pimpin kecuali perang Tabuk. Namun aku juga pernah tidak ikut serta dalam perang Badar, akan tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin (dalam perang Badar) tujuan awalnya hanyalah ingin menyerang rombongan kafilah dagang beberapa orang dari Quraisy, sehingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu ya ngtelah  disepakati sebelumnya. Saat itu aku turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam perjanjian Aqabah ketika kami berjanji membela Islam. Bagiku, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut dalam malam perjanjian Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer bagi kebanyakan orang. Di antara kisah ketika aku tidak turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut,“Aku benar-benar tidak berdaya dan tidak ada orang yang lebih banyak mempunyai keluasan daripada aku ketika tidak turut dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah sama sekali menyiapkan dua ekor hewan tunggangan di pelbagai peperangan, namun pada perang Tabuk tersebut aku menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke lokasi perang Tabuk pada cuaca yang sangat panas, beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh dalam jumlah besar. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersama beliau. Oleh karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang.”Ka’ab melanjutkan, “Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena tidak ingin turut berperang. Dia mendunga bahwa tindakannya yang tidak ikut serta tersebut tidak akan diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Azza wa Jalla mengenai dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, sehingga aku memalingkan perhatian kepada hasil panen. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin yang menyertai beliau sudah bersiap-siap, dan aku pun segera pergi mencari perbekalan bersama mereka, namun aku pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Aku berkata dalam hati, “Aku sebenarnya bisa memperoleh perbekalan jika aku mau, aku selalu dalam teka-teki antara ya dan tidak sedangkan yang lainnya semakin siap.”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama pasukan kaum muslimin, sementara aku belum mempersiapkan perbekalan sama sekali, lalu aku pergi kemudian pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Aku senantiasa dalam kebimbangan seperti itu antara turut berperang atau tidak, sehingga pasukan kaum muslimin sudah bergegas dan perang pun telah berkecamuk. Lalu aku ingin menyusul mereka ke medan perang –duhai kiranya aku benar-benar melakukannya- dan akhirnya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta dalam medan tempur. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke perang Tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diriku. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat aku temui selain orang-orang dicap bergelimang dalam kemunafikan atau aku termasuk orang yang lemah yang diberi udzur oleh Allah Azza wa Jalla.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingat diriku hingga beliau sampai di Tabuk. Ketika beliau sedang duduk di tengah para shahabat di Tabuk, beliau bertanya, “Mengapa Ka’ab bin Malik tidak turut berperang?” Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, “Wahai Rasulullah, Ka’ab bin Malik disibukkan oleh pakaiannya dan lebih mementingkan urusan pribadinya dari pada perjuangan ini.” Mendengar ucapan shahabat itu Mu’adz bin Jabal berkata, “Ucapanmu ini sungguh jelek wahai shahabat, demi Allah, wahai Rasulullah, kami tahu bahwa Ka’ab bin Malik adalah orang yang baik.” Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diam. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiam seperti itu tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih dan hitam yang bergerak-gerak, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kamu pasti Abu Khaitsamah.” Ternyata dia memang Abu Khaitsamah Al-Anshari, seorang shahabat yang pernah menyedekahkan satu sha’ kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik.Ka’ab bin Malik melanjutkan ceritanya, “Ketika aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersiap-siap kembali dari Tabuk, aku diliputi kesedihan, lalu aku mulai menggagas alasan untuk berdusta, aku berkata dalam hatiku, “Alasan apa yang besok bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?” Untuk menghadapi itu aku berniat untuk meminta bantuan kepada keluargaku yang bisa memberi jalan keluar. Ketika ada seseorang memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah hampir tiba di kota Madinah, maka semua keinginan untuk berdusta telah hilang dari benakku. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah dapat berbohong sedikitpun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu aku harus berkata jujur kepada beliau.Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Madinah pada pagi hari. Seperti biasa, beliau langsung menuju masjid sebagaimana kebiasaan beliau setiap kali tiba dari bepergian ke suatu daerah. Lalu beliau melaksanakan shalat sunnah dua raka’at, setelah itu beliau duduk bercengkerama bersama para shahabat. Beberapa saat kemudian, beliau didatangi oleh orang-orang yang tidak turut berperang. Mereka segera menyampaikan alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak ikut bertempur itu berjumlah 80 orang lebih. Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima alasan mereka yang tidak ikut berperang, membai’at mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah Ta’ala. Tak setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah, kemudian beliau mengatakan, “Kemarilah!” Lalu aku berjalan mendekat, sehingga aku duduk tepat di hadapan beliau. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam  bertanya, “Mengapa kamu tidak turut berperang? Tidakkah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu demi Islam?” Aku menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang bersamamu.” Mendengar pengakuan tulsu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Akhirnya aku pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui kamu berbuat dosa sebelum ini, Kamu benar-benar tidak mampu engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu, sungguh istighfar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untukmu yang akan menghapus dosamu.”Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah, mereka tidak berhenti mencercaku sampai-sampai aku ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku dustakan diriku.” Selanjutnya aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti aku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang jawaban beliau kepadamu.” Aku bertanya, “Siapa dua orang itu?” Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi. ” Mereka menyebutkan dua orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar, dan mereka bisa menjadi teladan. Aku pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepadaku.Tak dinayana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Kaum muslimin manjauhi kami dan berubah sikap kepada kami bertiga sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya bumi ini bukan bumi yang kami kenal sebelumnya, itu berlangsung selama 50 malam. Dua orang temanku yang tidak turut dalam perang Tabuk itu duduk bersedih di rumah mereka sambil terus menangis, sedangkan aku masih muda tetap tegar. Aku tetap beraktifitas seperti sedia kala, aku tetap berani keluar dari rumah, menghadiri shalat berjama’ah dan berjalan-jalan di pasar meskipun tak seorang pun yang mau berbicara denganku. Hingga suatu ketika aku menghampiri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku ucapkan salam kepada beliau ketika beliau berada di tempat duduknya seusai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?” Kemudian aku shalat di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika aku sudah bersiap hendak shalat, beliau memandangku dan ketika aku menoleh kepada beliau, beliau mengalihkan pandangannya dariku.Setelah terisolir dari pergaulan kaum muslimin, aku berjalan-jalan sehingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, dia adalah sepupuku dan dia merupakan orang yang paling aku senangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Hai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Ternyata Abu Qatadah diam saja. Lalu aku ulangi lagi dengan bersumpah seperti itu, tetapi dia tetap diam. Kemudian aku ulangi sekali lagi, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu.” Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mataku dan aku pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.Pada hari lain, ketika aku berjalan di pasar Madinah, ada seorang dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang sudi menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’ Maka orang-orang pun menunjukkannya kepadaku. Lalu dia datang kepadaku sambil menyerahkan sepucuk surat untukku dari raja Ghassan. Karena saya bisa menulis dan membaca, maka aku bisa memahami surat itu, ternyata isinya sebagai berikut,“Kami mendengar bahwa temanmu (yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) mengucilkanmu dari pergaulan umum, sedangkan Allah tidak menyia-nyiakanmu, karena itu bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.”Selesai membaca surat itu aku pun berkata, “Surat ini juga merupakan bencana bagiku.” Lalu aku memasukkannya ke pembakaran dan membakarnya hingga musnah.” Setelah berlalu 40 hari dari 50 hari masa pengucilanku dan wahyu pun tidak turun, tiba-tiba utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangiku untuk menyampaikan pesan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kamu menjauhi istrimu.” Aku bertanya, “Aku harus menceraikannya atau bagaimana?” Dia menjawab, “Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengutus orang kepada dua orang temanku yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk dengan pesan seperti yang disampaikan kepadaku. Aku katakan kepada isteriku, “Pulanglah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan dalam masalah ini.”Setelah itu, istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah sudah tua, lemah dan tidak memiliki pembantu, apa engkau juga tidak suka kalau aku yang merawatnya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Tidak, dengan syarat jangan sampai dia mendekatimu.” Perempuan itu berkata lagi, “Demi Allah, dia sudah tidak berhasrat sama sekali, dan demi Allah dia tidak putus menangis semenjak dia mendapatkan ujian tersebut sampai hari ini.”Ka’ab bin Malik berkata, “Salah seorang keluargaku memberi saran, “Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam persoalan istrimu; sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.” Aku berkata, “Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perihal istriku, aku tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika aku minta izin kepada beliau tentang istriku; karena aku masih muda.” Hal itu berlangsung sepuluh malam, sehingga genaplah 50 malam bagi kami, terhitung sejak kaum muslimin dilarang berbicara dengan kami. Kemudian aku melakukan shalat subuh pada pagi hari setelah melewati malam yang ke-50 di bagian belakang rumahku. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan seperti yang Allah sebutkan tentang kami, yaitu diriku diliputi kesedihan yang sangat serta bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan suara keras yang menembus cakrawala, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Lalu aku sujud dan aku tahu bahwa aku telah bebas dari persoalan ini.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumumkan kepada kaum muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Orang-orang pun segera memberitahu kami dan mendatangi dua orang temanku untuk memberitahu mereka berdua. Orang-orang dari Bani Aslam datang kepadaku dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung, dan suara mereka lebih cepat daripada suara kuda mereka. Ketika orang yang telah aku dengar suaranya memberi kabar gembira datang, maka aku melepaskan pakaian luarku, lalu aku pakaikan kepadanya sebagai balasan kabar gembiranya kepadaku. Demi Allah, pada saat itu yang aku milikinya hanyalah dua pakaian tersebut. Kemudian aku meminjam dua pakaian, lalu aku pakai. Setelah itu aku menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara orang-orang berduyun-duyun menemuiku untuk mengucapkan selamat atas terkabulnya taubatku. Lalu aku masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di tengah orang banyak. Thalhah bin Ubaidullah berdiri dan berjalan cepat mendekatiku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada orang-orang muhajirin yang berdiri selain Thalhah.Periwayat hadits mengatakan “Ka’ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut.”Ka’ab berkata, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ketika itu wajah beliau berseri-seri, beliau mengatakan, “Bergembiralah, karena kamu mendapati sebaik-baik hari yang telah kamu lalui semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?” Beliau menjawab, “Dari Allah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau merasa senang, maka wajah beliau bersinar bagai bulan purnama, kami pun sudah memahami hal itu.Ketika duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku berkata, “Wahai Rasulullah, di antara bentuk taubatku adalah aku serahkan hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Sisakan sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu.” Lalu aku katakan, “Aku sisakan hartaku yang menjadi bagianku pada perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku hanyalah karena kejujuranku, dan di antara bentuk taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur pada sisa umurku.”Ka’ab mengatkaan, “Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa seorang muslim diuji oleh Allah karena kejujuran bicaranya sejak aku tuturkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, yang lebih baik daripada apa yang telah diujikan oleh Allah Azza wa Jalla kepadaku. Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku.Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 117-119).Ka’ab mengatakan, “Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku anggap lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan kejelekan orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan ayat, “Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 95-96).Ka’ab berkata kepada kedua orang temannya, “Kita bertiga adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang telah diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka bersumpah, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membai’at mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangguhkan persoalan kita sampai ada keputusan dari Allah Azza wa Jalla tentang persoalan kita; maka dalam hal tersebut Allah Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas…” (At-Taubah: 118). Apa yang difirmankan Allah dalam ayat itu bukanlah tentang sikap kita yang tidak ikut serta dalam perang, melainkan tentang tertinggalnya kita untuk menyampaikan alasan kita dari kelompok orang-orang yang bersumpah dan memberikan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau pun menerima alasan mereka.” HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i.  Redaktur: Abu Hafsah
 Sumber: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan An-Nasa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar